Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masikah Merasa Paling Benar ?

Memahami teks agama tanpa bimbingan ulama adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Belajar sendiri dari nash-ash Al-Qur'an dan hadist tanpa merujuk ke tafsir dan syarah-syarah hadist adalah tindakan yang sangat gegabah. 

Nash Al-Qur'an dan nash hadist-hadist Nabi yang berupa larangan, belum tentu kesimpulan hukumya adalah haram. Sebab kata larangan memiliki indikasi makna yang bermacam-macam, untuk megetahui hal ini, seorang perlu mempelajari dilalatul alfadz di dalam disiplin ilmu ushul fiqh. 

Tidak semua nash dalam Al-Qur'an da Hadist mengandung maksud qath'i (hukumnya pasti, tidak menerima perbedaan), namun kebanyakan nash adalah dhanni (relatif)

Para salafussholih, dalam hal ini para sahabat dan tabi'in juga terbiasa berbeda dalam masalah ijtihadiyah.

Merasa paling diatas sunnah hanya dengan berpihak pada satu pilihan hukum yang dhanni tanpa toleransi akan memicu perselisihan diantara umat islam

Ilmu agama demikian luas, dalil agama juga demikian banyak, akan sangat berbahaya jika hanya berpegang kepada satu dan dua dalil dan tidak mau menncari yang lain dan menutup hati dari keluasan ilmu yang tak terbatas

Terkadang seseorang sudah merasa paling benar dalam pilihan hukum di suatu masalah, namun lambat laun seiring dengan berkembangnya wawasan keagamaan, maka dada juga akan semakin luas untuk menerima perbedaan yag dalam ranah khilafiyah yag mu'tabar. 

Masalah ijtihadiyah seperti diatas bukanlah tolok ukur al-haq dan al-bathil, namun ranahnya adalah al-shawab (benar) dan al-khata' (salah), yang berijtihad dan benar akan mendapat dua pahala dan yang berijtihad dan salah tetap mendapatkan satu pahala
.





Sumber : www.kabarmakkah.com/2015
















Coretan@fivwae

Posting Komentar untuk "Masikah Merasa Paling Benar ? "