Hadist Nabi Bisa Jadi "Menyesatkan" ???
Upz jangan protes dulu lihat judul diatas sebelum membaca isinya. Memang sering kita mendengar, dalam melaksanakan ibadah atau muamalah ditanyakan mana dalilnya ? mana hadistnya ? Hadisnya Shahih atau dhoi'f ?
Berikut saya share kembali tulisan dari Uts. Hanif Luthfi sebagai wawasan keilmuan kita mengenai pemahaman tentang hadist. Oke, tanpa panjang lebar langsung saja dibaca sampai tuntas tulisan dibawah ini 👇👇👇
*Hadits Nabi Bisa Jadi "Menyesatkan" ???*
Oleh : Ustadz Hanif Luthfi, Lc
Penyempitan Pengertian Dalil
“Haditsnya kan shahih, ya sudah ikut saja, ustadz”.
Pernyataan diatas bisa benar bisa salah. Benar; karena memang hampir semua ulama sejak zaman dahulu pasti menjunjung tinggi hadits Nabi. Salah; karena telah mempersempit pengertian dalil hanya pada shahih tidaknya hadits saja.
Hanya saja sayangnya pernyataan itu sekarang sering kita temui dari para awam agama, seolah ada model ushul fiqih baru; ushul fiqih cukup hadits shahih.
Dalil secara bahasa artinya sesuatu yang mengantarkan kepada maksud tertentu (Abu Ya’la al-Farra’ w. 458 H, al-Uddah fi Ushul al-Fiqh, h. 1/131). Sedangkan dalam istilah syar’i, dalil adalah:
ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إِلى مطلوب خبري
Segala sesuatu yang memungkinkan untuk mengantarkan kepada sesuatu yang diinginkan yang bersifat khabari/ berita dengan analisis yang benar. (Ibnu Muflih w. 763 H, Ushul al-Fiqh, h. 1/ 19, lihat pula: Muhammad bin Ali as-Syaukani w. 1250 H, Irsyad al-Fuhul, h. 1/ 22).
Artinya para ulama dari sejak zaman salaf tak pernah gegabah menentukan sebuah hukum hanya bermodal kepada satu hadits shahih saja. Karena hadits shahih saja belum cukup menjadi produk hukum kecuali setelah melewati pemahaman yang shahih pula.
Selain pula, dalam pembahasan ushul fiqih, dalil yang disepakati oleh semua ulama ada beberapa; seperti al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Adapun yang masih diperselisihkan diantaranya seperti Qaul Shahabi, Syariat sebelum Nabi Muhammad, Mashlahat Mursalah, Urf, dan juga istihsan. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, Raudhatu an-Nadzir, h. 1/ 194).
Dalil untuk Orang Awam
Beberapa kali ada teman bertanya kepada saya tentang rute sebuah alamat. Saya berikan peta plus saya gambarkan rutenya. Hanya saja ada beberapa teman yang nyasar di jalan.
Masalah nyasar bisa jadi bukan karena alamatnya yang palsu, atau karena peta atau rutenya yang keliru. Tersesat bisa jadi karena ketidak cakapan seorang membaca peta atau memahami rute.
Maka jika memang masih awam dalam membaca peta, tak ada salahnya jika bertanya kepada orang yang memang sudah tiap hari lewat jalan tersebut. Atau malah nebeng orang lain yang sudah cukup hafal peta itu.
Begitu juga sebagai awam agama. Imam As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:
فتاوى المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).
Hal itu cukup beralasan, kenapa? Karena dalil bagi orang yang awam itu ya buat apa? Ibarat orang yang tidak cakap memasak bahkan malah tidak punya alat memasak, untuk apa diberi bahan mentah
.
Sebagaimana Imam Syathibi (w. 790 H) sampaikan, bahkan Imam as-Syathibi melarang orang awam untuk ikut-ikutan menggali hukum sendiri dari dalil:
والدليل عليه أن وجود الأدلة بالنسبة إلى المقلدين وعدمها سواء؛ إذ كانوا لا يستفيدون منها شيئا؛ فليس النظر في الأدلة والاستنباط من شأنهم، ولا يجوز ذلك لهم ألبتة
Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka. Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337)
Imam as-Syathibi (w. 790 H) memang cukup keras dalam melarang orang awam untuk ikut berijtihad sendiri. Dan memang seperti itulah seharusnya.
Awamkah Kita?
Untuk menjawab hal itu, memang butuh kesadaran diri. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kalo sudah ustadz berarti tidak awam, kalo sudah lulus sarjana syariah berarti sudah lulus keawamannya.
Tidak serta merta seorang hafal al-Qur’an dan hadits lantas bukan awam, apalagi hanya pernah belajar Bahasa Arab. Bukti paling nyata adalah tidak semua Orang Arab yang sudah bisa Bahasa Arab sejak kecil lantas bisa dan boleh menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan Hadits.
Hadits Bisa Jadi Menyesatkan
Mana mungkin Hadits Nabi yang shahih itu bisa menyesatkan? Bukan haditsnya yang menyesatkan. Tetapi pemahaman yang belum tuntaslah yang biasanya bisa membuat orang nyasar.
Ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H) menukil perkataan Ibnu Uyainah (w. 198 H):
الحديث مضلة إلا للفقهاء
Hadits itu bisa jadi menyesatkan kecuali fuqaha’. (Ibnu Hajar al-Haitami w. 974 H, al-Fatawa al-Haditsiah, h. 202). Kita akan lihat buktinya.
Hafal Banyak Hadits Belum Tentu Faqih
Syarat menjadi faqih adalah tahu banyak hadits beserta tahu cara memahaminya. Hanya saja kadang orang yang hafal banyak hadits, tidak tahu banyak terhadap kandungan hadits yang dihafalkan itu. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam:
رب مبلغ أوعى من سامع ورب حامل فقه ليس بفقيه ورب حامل فقه إلى من هو أفقه منه
Banyak orang yang hanya disampaikan kepadanya suatu hadits, dan dia lebih paham daripada orang yang mendengarkannya langsung. Banyak yang menyampaikan fiqih tetapi tidak faqih/ faham. Dan banyak pembawa fiqih, dia membawakannya kepada orang yang lebih faham darinya. (HR. Bukhari, h. 1/ 24, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, h. 5/ 365, Ibnu Majah dalam Sunan-nya, h. 1/ 159, Ahmad dalam Musnad-nya, h. 27/ 301).
Kesimpulan sederhana yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah tak semua penyampai hadits itu
paham atas hadits yang mereka sampaikan.
Tidak Setiap Hadits Harus Diamalkan, Meskipun Shahih
Ibn Wahab (w. 197 H) salah seorang murid dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) pernah suatu ketika berkata:
لولا مالك، والليث لهلكت، كنت أظن أن كل ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم يعمل به
Kalau saja saya (Ibnu Wahab) tidak bertemu dengan Imam Malik (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H), maka celakalah saya. Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang dari Nabi itu pasti harus diamalkan. (Jamaluddin Muhammad al-Mizzi as-Syafi’i w. 742 H, Tahdzib al-Kamal, h. 24/ 270, lihat pula: Ibnu Asakir w. 571 H, Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359)
Awalnya Ibnu Wahab (w. 197 H) menyangka bahwa semua yang datang dari Nabi itu mesti diamalkan. Untungnya beliau bertemu dan berguru kepada ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H).
Hal ini mirip-mirip yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak yang menyangka semua yang datang dari Nabi mesti diamalkan. Tidak mengamalkan berarti menolak, menolak berarti menentang hadits Nabi. Seharusnya mereka itu belajar kepada ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H), bukan kepada syeikh Google atau syeikh radio.
Intinya, hadits yang shahih juga harus dibarengi dengan pemahaman yang shahih oleh orang-orang yang ahli. Berikut contoh hadits yang shahih hanya tidak diamalkan:
Contoh: Tidak diamalkan dhahir haditsnya saja
Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِل الْقِبلَةَ وَلَا يُوَلها ظهره، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
Ketika kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginaya. Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau ke BARAT. (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat, tetapi beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke barat. Jika kita di Indonesia, bukankah kiblatnya ke arah barat? Disinilah pemahaman terhadap hadits harus tepat.
Contoh: Tidak diamalkan karena mansukh
Dalam sebuah Hadits shahih riwayat Imam Bukhari disebutkan:
أن زيد بن خالد، أخبره أنه، سأل عثمان بن عفان رضي الله عنه، قلت أرأيت إذا جامع فلم يمن، قال عثمان «يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره» قال عثمان سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألت عن ذلك عليا، والزبير، وطلحة، وأبي بن كعب رضي الله عنهم فأمروه بذلك
Zaid bin Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab: Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci dzakarnya, hal itu saya dengar dari Rasulullah. (Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 1/ 46).
Hadits shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:
إنما الماء من الماء
Air (wajib mandi) itu karena air (keluar mani). (Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 1/ 269)
Dari kedua hadits yang shahih tadi, disimpulkan bahwa jika seseorang berjima’ dengan istri tetapi tidak mengeluarkan mani maka cukup dengan wudhu dan membasuh dzakar saja.
Meski kedua hadits shahih tadi masih tertulis di dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, hanya saja para ulama tidak mengamalkan hadits tersebut. Kenapa?
Hadits diatas di-nasakh dengan hadits muttafaq alaih juga, yaitu:
إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل
Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar. (Muttafaq alaih)
Contoh: Perbuatan Shahabat berbeda dengan Periwayatan
Ada hal menarik ketika membaca sejarah para shahabat Nabi. Beberapa riwayat menyebutkan ada beberapa shahabat Nabi tidak mengamalkan hadits yang mereka riwayatkan sendiri.
Sebut saja misalnya Aisyah Ummu al-Mu’minin radhiyaAllahu anha. Beliau suatu ketika pernah menikahkan anak perempuan dari saudaranya tanpa ijin walinya terlebih dahulu.
Padahal Aisyah sendiri meriwayatkan hadits tentang larangan menikahkan perempuan tanpa ijin wali. Hadits tersebut adalah:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
Setiap wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya batil. (HR. at-Timidzi, h. 2/ 398, Abu Daud, h. 2/ 229, al-Hakim dalam al-Mustadrak, h. 2/ 182 dengan sanad yang shahih).
Sedangkan Aisyah sendiri pernah menikahkan anak dari saudara laki-lakinya; Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dengan Mundzir bin Zubair. Padahal Abdurrahman; saudara dari Aisyah dan wali bagi Hafshah sedang berada di Syam.
Artinya Aisyah sebagai perawi hadits diatas malah dalam perbuatannya menyelisih terhadap hadits yang beliau riwayatkan sendiri. (Abu Ja’far at-Thahawi w. 321 H, Syarh Ma’ani al-Atsar, h. 3/ 18, lihat pula: Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Fath al-Bari, h. 9/ 186).
Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah tentang banyaknya basuhan sesuatu yang terkena jilatan anjing; Abu Hurairah meriwayatkan hadits dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri melakukan basuhan 3 kali. (Abdul Karim an-Namlah, Mukhalafat as-Shahabi lil Hadits an-Nabawi, h. 125).
Maka dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadits sudah shahih saja belum cukup menjadi dalil hukum. Bagaimana mungkin seorang shahabat Nabi yang meriwayatkan sendiri hadits, malah dalam perbuatannya berbeda dengan hadits yang diriwayatkan.
Maka, dalam kaitan kasus seperti ini para ulama ushul fiqih telah membahasnya secara tuntas dalam bab "perbuatan rawi menyelisih riwayatnya sendiri"; apakah mengikuti riwayatnya atau perbuatannya.
Ahli Hadits Tetapi Tidak Mengamalkan Hadits Nabi
Dalam contoh yang lebih nyata, para Ahli Hadits malah “tidak mengamalkan” hadits Nabi yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya; Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam melarang menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.
عن أبي سعيد الخدري، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تكتبوا عني، ومن كتب عني غير القرآن فليمحه، وحدثوا عني، ولا حرج.. الحديث
Rasulullah shallaAllahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan sesuatu tentang saya selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah mengapa, Sampaikanlah hadits saya. (Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 4/ 2298).
Larangan menulis sesuatu tentang Nabi ini malah tertulis dalam kitab-kitab hadits para ulama ahli hadits. Artinya para ahli hadits malah tidak mengindahkan larangan Nabi, padahal haditsnya shahih.
Inilah mengapa memahami hadits Nabi tidak hanya cukup bermodal shahihnya saja. Hadits diatas dijelaskan dengan hadits khutbah Nabi saat Fathu Makkah:
اكتبوا لأبي شاه
Tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah. (Muttafaq alaih)
Para ulama menyebutkan bahwa alasan tidak boleh menuliskan sesuatu selain al-Qur’an saat itu adalah agar tidak bercampur dengan teks al-Qur’an sesuatu yang bukan al-Qur’an.
Bicara Hadits Tetapi Hanya di Mulut Saja
Ada hadits yang cukup serius berbicara tentang orang-orang yang ngomongnya pakai hadits, tapi malah mendapat kritikan dari Nabi:
سيخرج قومٌ في آخرِ الزمان، أحداثُ الأسنان، سفهاءُ الأحلام، يقولون من خيرِ قولِ البرية، لا يجاوزُ إيمانهم حناجرهم، يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية.. الحديث
"Akan datang di akhir zaman, suatu kaum yang muda usianya, bodoh cara berpikirnya dan berbicara dengan sabda sebaik-baiknya Makhluq; Rasulullah. Iman mereka tidak sampai melewati tenggorokannya Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentu hadits ini umum, tak hanya menuding kelompok ini atau itu, tetapi lebih sebagai pengingat.
Anak muda, baik secara umur atau keilmuan yang punya cukup semangat menebarkan hadits dan sunnah Nabi tentu sangat bagus. Tetapi bisa jadi orang yang sedikit-sedikit membawa dalil hadits Nabi, belum tentu benar-benar mewakili apa yang Nabi Muhammad syariatkan.
Cara Aman Agar Tak Tersesat
Contoh-contoh hadits shahih yang tidak diamalkan diatas sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para ulama terdahulu. Ulama madzhab fiqih yang empat, telah menuntun kita dengan membuat formulasi cara memahami teks-teks dalil agama. Formulasi pemahaman teks agama itu disebut ilmu ushul fiqih. Hal itu agar tak terjadi penyimpangan pemahaman terhadap teks-teks agama.
Maka, hanya tahu satu hadits shahih saja belum cukup kecuali dipahami dengan cara yang benar oleh orang-orang yang benar-benar benar. waAllahu a’lam bis shawab.
Sumber : http://www.rumahfiqih.net/y.php?id=324&hadits-nabi-bisa-jadi-menyesatkan.htm
Posting Komentar untuk "Hadist Nabi Bisa Jadi "Menyesatkan" ???"